Mata-Mata CIA Saat Konfrensi Asia Afrika Tahun 1955

Ini sebuah temuan baru yang menurut saya sangat mengejutkan. Dalam Konferensi Asia-Africa yang digelar di Bandung pada April 1955 lalu, kita ketahui bersama merupakan pertemuan berbagai bangsa dan negara di kawasan Asia-Afrika yang baru merdeka atau yang masih dalam cengkraman penjajahan negara-negara asing seperti Belanda, Inggris, Portugis, Perancis dan Spanyol. Karenanya, sasaran strategis Konferensi Asia-Afrika yang salah satunya digagas oleh Presiden Pertama RI Bung Karno, adalah terciptanya suatu kekuatan ketiga untuk mengimbangi baik kubu negara-negara kapitalis seperti Amerika dan Eropa Barat, dan kubu komunis yang dimotori oleh Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.


Masuk akal jika Amerika Serikat melalui badan intelijennya CIA, menaruh perhatian besar untuk memantau kegiatan KAA di Bandung tersebut, bahkan jika perlu membelokkan substansi tujuan KAA ke arah polarisasi antara kedua kubu negara adidaya tersebut.

Yang mengejutkan kita adalah, CIA melalui agennya bernama Bob Dreher yang bermarkas di Munich-Jerman Barat, mengirim seorang kader dan aktivis Ihwanul Muslimin bernama Garip Sultan, untuk menjalankan misi ke Konferensi AA tersebut. Misi utamanya tentu saja menciptkan aksi destabilisasi di dalam Konferensi AA tersebut. Dan menurut Ian Johson dalam bukunya A Mosque in Munich, Garip Sultan menyamar sebagai wartawan yang meliput KAA tersebut.

Jalinan kisah yang dirajut dengan sangat elok oleh Ian Johson tersebut, secara jelas mengindikasikan adanya persekutuan rahasia antar para Aktivis Ihwanul Muslimin dan para agen CIA seperti Bob Dreher tersebut. Beberapa pemain kunci bisa disebut di sini antara lainDr Said Ramadan, Agen Pembina CIA Bob Dreher yang bermarkas di Jerman, Galeb Hikmat warga asal Suriah yang pada perkembangannya nanti akan lebih mewarnai jaringan Ihwanul Muslimin yang ada di Jerman dan Amerika Serikat, novelis Ahmad Kamal yang juga tercatat sebagai aktivis Muslim dan punya jalinan hubungan rahasia dengan CIA, dan Youseff Nada warga asal Mesir yang kelak melanjutkan estafet kepemimpinan Ihwanul Muslimin yang bergerak di Eropa dan Amerika.

Dr Said Ramadan, anak menantu dari Hassan al Banna, awalnya memang tampil sebagai tokoh sentral Ihwanul di dalam proses pembangunan sebuah Masjid di Munich, Jerman Barat. Namun ketika Masjid tersebut berhasil selesai dan dibuka pada 1973, Said Ramadan perannya mulai tergeser oleh Galib Hikmat asal Suriah yang lebih condong pada loyalitas ke-Arabannya ketimbang solidaritas Islam lintas bangsa sebagaimana yang menjadi misi dan haluan ke-Islaman dari Said Ramadan.

Selain itu, di bawah arahan Galib Hikmat, Ihwanul Muslimin jauh lebih politis dalam karakteristik gerakannya dibanding Said Ramadan yang notabene lebih ingin memperjuangkan internasionalisasi Islam lewat jalur pendidikan dan dakwah. Karena itu, watak politis Ihwanul Muslimin pada perkembangannya kemudian, nampaknya menjadi tanggungjawab Galib Hikmat ketimbang Said Ramadan. Termasuk dalam hal ini, peran dan keberadaan Al Qaeda dan tokoh sentralnya Osama bin Laden, bisa ditelusur melalui persekutuan rahasia CIA dan Ihwanul Muslimin sejak awal Perang Dingin.

Sisi lain yang menarik dari buku Ian Johnson ini, keberadaan Masjid Munich yang mulai dibuka pada 1973 ini, pada perkembangannya menjadi pusat intelektual dan kegiatan dari Ihwanul Muslimin dalam mengkonsolidasikan seluruh warga Muslim di Eropa ke dalam naungan pengaruh dan orbit dari Ihwanul Muslimin.
Sebagaimana analisis Ian Johson, Ihwan di luar Mesir ternyata bukan merupakan organisasi massa, melainkan sebuah kelompok para organisator elit yang telah mendirikan struktur untuk menentukan Islam di barat. Pusat Islam di Munich dan semua organisasi penggantinya, ternyata tidak pernah memiliki anggota resmi lebih dari beberapa puluh orang saja.

Bahkan mereka jadi ekslusif dan hanya menerima Muslim warga Arab saja, sedangkan populasi Turki yang merupakan 90 persen Muslim di Munich, ternyata ditolak menjadi anggota. Ini menggambarkan bahwa Ihwanul Muslimin mengarah pada Arabisasi Islam.

Salah satu sarana kaderirasi di Eropa bisa terlihat melalui keberadaan International Institute of Islamic Thought (IIIT). Meski terkesan sebagai lembaga pengkajian, sejatinya IIIT berfungsi untuk memberikan fondasi teoritis untuk penyebaran Islamisme ala Ihwanul Muslimin di Eropa Barat. Jadi sama sekali bukan badan pendidikan teologi Islam.

Singkat cerita, Pusat Islam Munich, Jerman, sejak 1982 menjadi semakin penting, yang kemudian namanya berubah menjadi Komunitas Islam Jerman. Pusat Islam Munich sekarang sudah berkembang menjadi markas besar sebuah kelompok nasional yang mengawasi jaringan jaringan masjid-masjid dan pusat pusat budaya. Ia memiliki cabang cabang di semua kota besar Jerman Barat.

Menariknya, ketika kekuatan Ihwanul Muslimin di Eropa sudah semakin kuat dan terganisasi, baru kemudian mereka membuka diri terhadap keanggotaan yang datang dari negara negara non Arab seperti Turki, Pakistan, Irak dan tentu saja Mesir.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.